![]() |
Foto: Alfamart Jalan Diponegoro, Genuk |
Rivai membeli tiga produk kebutuhan rumah tangga:
Pampers MamyPoko ukuran L – Rp 54.900
Susu Primagro 1+ 750 gram – Rp 73.900
Pasta Gigi Pepsodent – Rp 21.500
Total belanja seharusnya Rp 150.300, namun tagihan yang muncul di aplikasi mobile banking BCA Rivai justru sebesar Rp 185.800, selisih Rp 35.500 yang diduga kuat akibat kelalaian sistem Alfamart. Ironisnya, selisih itu tidak diinformasikan sama sekali oleh kasir saat transaksi berlangsung.
Ketika Rivai mengajukan komplain kepada kasir bernama Yustika, solusi yang ditawarkan justru berupa pengembalian tunai, meskipun pembayaran dilakukan via transfer bank. Langkah ini jelas tidak mencerminkan prosedur yang adil dan profesional—bahkan bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap hak konsumen.
Lebih mengejutkan lagi, kepala toko bernama Nanda saat dikonfirmasi justru melempar alasan bahwa sistem telah error sejak malam sebelumnya. Ia juga mengakui adanya perbedaan harga antara rak dan sistem kasir, dan menyatakan bahwa kejadian serupa telah menimpa pelanggan lain sejak pagi hari.
"Kalau selisih harga, karyawan yang tanggung dari uang pribadi," katanya tanpa ragu. Pernyataan ini sangat mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa perusahaan sebesar Alfamart justru membiarkan sistem rusak beroperasi, lalu menyerahkan tanggung jawabnya kepada pegawai dan membiarkan pelanggan jadi korban?
Tindakan tersebut jelas melanggar Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Label harga yang tidak sesuai dengan sistem adalah bentuk nyata pembohongan publik.
Lebih lanjut, Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen juga menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak boleh memperdagangkan barang dengan cara yang dapat menyesatkan mengenai harga, kualitas, dan kuantitas. Dalam kasus ini, Alfamart terindikasi melanggar dua pasal sekaligus.
Kekecewaan konsumen ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi manajemen Alfamart dan pengawas perlindungan konsumen. Bagaimana mungkin toko berskala nasional dengan sistem digital yang canggih membiarkan kesalahan fatal seperti ini berulang dan tidak diselesaikan dengan tanggung jawab profesional?
Ini bukan sekadar "sistem error"—melainkan dugaan kuat adanya kelalaian sistemik yang merugikan pelanggan. Publik perlu tahu dan waspada, bahwa belanja di ritel modern pun tidak menjamin kejujuran dan akurasi jika manajemen justru abai terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pihak berwenang, khususnya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Komnas Perlindungan Konsumen, hingga Kementerian Perdagangan, didesak untuk turun tangan menyelidiki dan memberikan sanksi tegas bila terbukti ada pelanggaran hukum dan etika dagang dalam kasus ini.
Red/TN