KOMPASX.COM//PANGKALAN BUN, Kalimantan Tengah – Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya, melalui putusan yang dibacakan pada 16 Oktober 2025, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun Nomor 17/Pdt.G/2025/PN Pbu tertanggal 21 Agustus 2025, terkait sengketa tanah di Jalan Rambutan.
Dalam putusannya, majelis mengabulkan eksepsi nebis in idem dari tergugat, menolak gugatan para penggugat, serta membebankan biaya perkara di dua tingkat peradilan kepada para terbanding, termasuk biaya banding sebesar Rp150.000.
Kuasa Hukum Terbanding (semula penggugat), Poltak Silitonga, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima salinan putusan tersebut melalui sistem e-court Pengadilan Tinggwa Palangka Raya. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap amar putusan yang dianggap tidak berdasar hukum.
“Kami sangat kecewa, karena tidak ada dasar hukum yang jelas dari majelis hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya dalam menetapkan gugatan ini sebagai nebis in idem. Objek gugatan kami yang sekarang berbeda dengan gugatan sebelumnya,” ujar Poltak, Sabtu (18/10/2025).
Ia menilai, hakim dalam perkara ini tidak memahami substansi sengketa secara utuh. Menurutnya, gugatan saat ini berkaitan dengan dugaan penggunaan fotokopi Surat Keputusan (SK) Gubernur palsu oleh pihak tergugat untuk menyangkal proses pengurusan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Barat.
“Fotokopi SK Gubernur yang tidak memiliki keaslian itu digunakan untuk menolak penerbitan sertifikat atas nama klien kami. Itu jelas perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Poltak menuding bahwa putusan tersebut terindikasi dipengaruhi oleh tekanan kekuasaan. Ia menyebut majelis hakim tidak objektif dan diduga berafiliasi dengan pihak tertentu di daerah.
“Saya melihat majelis hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya tidak independen. Mereka tampak takut terhadap kekuasaan, kami menduga putusan ini depresi, dipengaruhi tekanan dan dipengaruhi uang,” katanya dengan nada kecewa.
Poltak juga menyoroti inkonsistensi dalam amar putusan. Menurutnya, putusan yang menyebut adanya nebis in idem seharusnya tidak menyentuh pokok perkara, namun dalam putusan tersebut hakim justru menolak gugatan penggugat tanpa menjelaskan secara rinci status kepemilikan tanah yang disengketakan.
“Kalau memang tanah itu milik Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat, sebutkan saja dalam putusan. Tapi di sini tidak ada penegasan soal siapa pemilik tanahnya. Ini putusan yang tidak tuntas dan membingungkan,” jelasnya.
Atas dasar itu, pihaknya berencana melanjutkan langkah hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Poltak menyatakan optimistis bahwa lembaga peradilan tertinggi tersebut akan menilai kembali perkara ini secara lebih objektif dan mendalam.
“Kami sudah siapkan langkah hukum kasasi. Kami yakin masih ada hakim-hakim yang baik di Mahkamah Agung yang akan menelaah perkara ini dengan cermat dan adil,” tandasnya.
Sebagai penutup, Poltak berharap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat mengevaluasi putusan yang dinilainya tidak berdasar tersebut, agar tidak menimbulkan keresahan hukum di masyarakat.