Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Sekdes Bongkar Kasus Bullying, Malah Didepak Camat dari Grup WA — Publik Curiga Ada Tekanan Birokrasi

Kamis, Oktober 30, 2025 | Oktober 30, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-30T09:47:54Z

 

Foto :Nur Huda, S.STP, M.IP, terlihat jelas sebagai admin grup yang mengeluarkan Sekdes tersebut tanpa alasan.

PURWOREJO | KompasX.com — Aroma tidak sedap tengah menyeruak di tubuh birokrasi Kecamatan Kutoarjo.

Seorang Sekretaris Desa (Sekdes) Sukoharjo, Trias Arfianto, mendadak dikeluarkan dari grup WhatsApp resmi “Paguyuban Sekdes Seklur KTA” yang berada di bawah koordinasi langsung Camat Kutoarjo.

Langkah itu terjadi tepat setelah Trias lantang membongkar dugaan bullying dan pungli di SMP Negeri 3 Purworejo, yang kini menjadi sorotan tajam DPRD dan publik.


Dari bukti tangkapan layar percakapan grup yang beredar, nama Camat Kutoarjo, Nur Huda, S.STP, M.IP, terlihat jelas sebagai admin grup yang mengeluarkan Sekdes tersebut tanpa alasan.

Tidak ada penjelasan, tidak ada peringatan, hanya diam dan tindakan sepihak. Pesan terakhir Trias bahkan hanya berupa ucapan terima kasih — beberapa menit kemudian, ia langsung dikeluarkan.


“Saya kaget, tidak tahu salah saya di mana. Saya hanya berusaha aktif di forum dan menjalankan tugas seperti biasa,” ujar Trias Arfianto, Rabu (29/10/2025).


Langkah sepihak Camat ini memicu dugaan kuat adanya tekanan politik dan sikap tidak netral dari pihak kecamatan terhadap bawahannya yang bersuara kritis.

Apalagi, kasus ini berkaitan langsung dengan anak Sekdes sendiri yang menjadi korban bullying di sekolah negeri.


Benang Merah Kasus: Dari Grup WA hingga Ruang DPRD

Sebelumnya, Trias Arfianto bersama LSM Tamperak dan LPKSM Kresna Cakra Nusantara melaporkan dugaan bullying dan pungli di SMPN 3 Purworejo ke DPRD setempat.

Kasus ini juga menyoroti penahanan ijazah di SMPN 13 Purworejo, yang dinilai melanggar hak dasar siswa.

Audiensi pertama diterima oleh Sekretaris DPRD Purworejo, Agus Ari Setiadi, S.Sos., yang berjanji akan meneruskan laporan tersebut ke Komisi D DPRD untuk pemanggilan pihak terkait.

“Kami diterima dengan baik, tapi kami tunggu langkah nyatanya. Ini bukan hanya soal bullying, tapi soal moral dan integritas pendidikan,” tegas Sugiyono, SH, Anggota DPN LPKSM Kresna Cakra Nusantara.


Sugiyono bahkan menuding, ada “tangan-tangan birokrasi” yang berupaya membungkam Sekdes dan menutupi persoalan di sekolah negeri.


Audiensi Kedua: Camat Hadir Tapi Diam Seribu Bahasa

Tekanan publik terus menggelora hingga digelar audiensi kedua pada Selasa, 28 Oktober 2025 di ruang rapat DPRD Purworejo.

Audiensi kali ini menghadirkan Camat Kutoarjo, perwakilan Dinas Pendidikan, Inspektorat, guru-guru SMPN 3 Purworejo, serta oknum guru yang diduga sebagai pelaku bullying terhadap anak Sekdes.

Namun, alih-alih menunjukkan sikap tegas, Camat Kutoarjo justru memilih diam dan pasif sepanjang jalannya rapat.

Ketika pihak pendamping korban menyinggung soal dugaan pengeluaran Sekdes dari grup WA, sang camat tidak memberikan klarifikasi apa pun — hanya duduk dan sesekali menunduk.

“Kami datang mencari keadilan, bukan menciptakan kegaduhan. Tapi dari sikap camat yang diam, seolah-olah membenarkan dugaan adanya tekanan terhadap Sekdes,” ujar Sugiyono, SH, usai audiensi berlangsung.

Sejumlah peserta rapat menyebut, diamnya Camat Kutoarjo dianggap sebagai bentuk pembiaran, bahkan bisa ditafsirkan sebagai sikap setuju terhadap praktik pengucilan bawahannya sendiri.


Desakan Publik Meningkat: “Bupati Harus Bertindak!”

Gelombang desakan masyarakat semakin keras. Publik menilai Camat Kutoarjo gagal menjadi pembina dan pengayom bagi bawahannya.

Sikap bungkamnya dalam persoalan ini justru menimbulkan kesan kuat bahwa ada upaya melindungi pihak-pihak tertentu.

“Anak korban masih trauma dan belum mau sekolah. Sementara camat dan dinas pendidikan hanya diam. Ini memalukan,” tegas Sugiyono.

Selain itu, tindakan mengeluarkan Sekdes dari grup koordinasi dianggap sebagai bentuk intimidasi birokratis yang mencoreng marwah pemerintahan di tingkat kecamatan.

Langkah tersebut dinilai tidak etis, tidak profesional, dan berpotensi melanggar kode etik aparatur sipil negara.


Camat Kutoarjo Tetap Bungkam, Publik Makin Geram

Hingga berita ini diturunkan, Camat Kutoarjo, Nur Huda, S.STP, M.IP, belum memberikan tanggapan apa pun meski telah dikonfirmasi berulang kali oleh sejumlah awak media.

Pesan konfirmasi melalui WhatsApp dan telepon hanya dibaca tanpa balasan.

Sikap bungkam ini kini dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip transparansi publik dan tanggung jawab moral seorang pejabat negara.

Masyarakat pun mulai bertanya-tanya: apakah diamnya Camat menjadi tanda pembenaran atas dugaan yang berkembang?


Krisis Moral di Dunia Pendidikan dan Birokrasi

Kasus ini memperlihatkan dua sisi kelam sekaligus — pendidikan yang kehilangan nurani, dan birokrasi yang kehilangan keberanian untuk menegakkan kebenaran.

Jika pejabat publik justru memilih diam saat ketidakadilan terjadi, maka yang mati bukan hanya moral, tapi juga integritas pemerintahan itu sendiri.

“Camat dan pejabat publik seharusnya menjadi contoh integritas, bukan justru menjadi simbol ketakutan terhadap kebenaran,” tutup Sugiyono, SH.

Red/Time

×
Berita Terbaru Update