![]() |
| Foto sebelah kanan Paulina Chrysanti Situmeang, S.H., M.H, Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DPC Peradi Jakarta Timur sekaligus penasihat hukum orang tua Wisnu, |
Dugaan tersebut mengemuka lantaran aparat penegak hukum (APH) dinilai mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 2 Tahun 2012, yang secara tegas mengatur batas minimal kerugian Tipiring sebesar Rp2,5 juta.
Padahal, nilai kerugian riil dalam perkara yang menjerat seorang warga bernama Wisnu disebut tidak mencapai ambang batas tersebut.
Kuasa Hukum: Ini Mencederai Penegakan Hukum
Paulina Chrysanti Situmeang, S.H., M.H, Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DPC Peradi Jakarta Timur sekaligus penasihat hukum orang tua Wisnu, menyampaikan kekecewaan mendalam atas proses hukum yang terjadi.
“Perbuatan para APH ini sangat mencederai penegakan hukum itu sendiri. Warga negara meminta perlindungan hukum kepada aparat, tetapi jika justru aparat diduga menjadi pelaku pelanggaran hukum, lalu ke mana masyarakat harus mencari keadilan?” tegas Paulina.
Menurutnya, perkara tersebut dipaksakan menjadi perkara pidana biasa, bukan Tipiring, sehingga berujung pada hukuman penjara yang dinilai tidak proporsional.
Dugaan Mark Up Kerugian
Paulina membeberkan kesalahan fatal pertama, yakni dugaan penggelembungan nilai kerugian agar perkara melewati ambang batas Tipiring.
Rinciannya:
Handphone Infinix Smart Pro 8 dinilai Rp1,8 juta, padahal harga riil sekitar Rp1 juta
Uang tunai diklaim Rp800 ribu, padahal hanya Rp300 ribu
Sepatu dinilai Rp350 ribu, meski telah dikembalikan kepada pemilik
Dengan skema tersebut, total kerugian dibuat seolah-olah mencapai Rp2.950.000, sementara kerugian riil hanya sekitar Rp1,3 juta.
“Ini miris dan mencurigakan. Seolah ada upaya sistematis agar perkara tidak masuk Tipiring,” ujarnya.
Restorative Justice Diabaikan
Kesalahan kedua, lanjut Paulina, adalah tidak diterapkannya Restorative Justice (RJ), padahal Wisnu:
Bukan residivis
Melakukan perbuatan karena kesulitan ekonomi
Tidak menerima gaji selama dua bulan dari tempatnya bekerja
“Kami tidak membenarkan perbuatan klien kami. Tapi akibat proses hukum yang tidak adil ini, anak klien kami harus mendekam 10 bulan di penjara. Ini sangat tidak manusiawi,” ungkapnya.
Desakan Usut Tuntas hingga PTDH
Atas peristiwa ini, pihak kuasa hukum mendesak Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, dan Kapolri untuk turun tangan langsung mengusut dugaan PMH yang dilakukan aparat di bawahnya.
Mereka juga meminta sanksi tegas hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) jika terbukti terjadi pelanggaran, demi menjaga marwah institusi hukum.
“Masih banyak penyidik, jaksa, dan hakim yang jujur di negeri ini. Jangan biarkan ulah segelintir oknum merusak kepercayaan publik,” pungkas Paulina.
Ia pun mengingatkan adanya hukum tabur tuai atas setiap tindakan. "Jika bukan mereka, bisa jadi anak atau cucu mereka yang kelak menanggung akibatnya.”
Red/Sari
