![]() |
Foto ilustrasi Mafia Tanah |
Mafia Tanah di Balik SHGB Kadaluarsa
SHGB No. 1 yang diterbitkan pada 11 April 1984 untuk mendukung rencana pembangunan pabrik semen kini menjadi bukti kejahatan agraria. Sertifikat tersebut telah habis masa berlakunya sejak 2004 tanpa perpanjangan. Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, tanah yang masa SHGB-nya berakhir otomatis kembali menjadi milik negara.
Namun, hingga kini, PT ALIB tetap menguasai lahan tersebut tanpa dasar hukum yang sah. "Mana investasinya? Mana pabrik semen yang dijanjikan? Tanah itu mangkrak selama 40 tahun, dan SHGB-nya sudah gugur secara hukum," tegas Susilo, anggota RPK-RI.
Indikasi Pelanggaran Hukum
Budi Santoso, Ketua LSM FRAKSI Jawa Tengah, dengan lantang menyebut adanya mafia tanah dalam kasus ini. "SHGB No. 1 dikeluarkan atas dasar SK Gubernur Jawa Tengah tahun 1984, tetapi tidak ada realisasi investasi. Ini jelas penipuan publik dan pembodohan hukum!" serunya.
"Regulasi agraria kita tidak boleh dijadikan mainan oleh oknum yang hanya ingin mengeruk keuntungan. Kasus ini harus diusut tuntas," tambah Hendrik, Ketua LCKI Semarang.
Rencana Gugatan Class Action
Ketiga LSM ini berencana melayangkan gugatan class action untuk mengembalikan tanah eks-SHGB No. 1 ke tangan negara. "PT ALIB tidak memiliki hak atas tanah ini, tetapi tetap bertahan dengan dalih risalah lelang. Ini penghinaan terhadap hukum dan petani penggarap," ujar Dedi Hadi Irianto, Kabid Intelijen dan Investigasi RPK-RI.
Ia juga mempertanyakan niat PT ALIB yang masih memberikan uang kerahiman kepada petani. "Kalau mereka benar-benar memiliki tanah itu, kenapa masih ada kompensasi untuk petani? Ini semakin menunjukkan kelemahan klaim mereka," tegasnya.
Seruan Perlawanan
LSM RPK-RI, LCKI, dan FRAKSI kini bersiap menggerakkan mahasiswa, masyarakat, dan elemen lainnya untuk membongkar tuntas kejahatan agraria ini. "Kita tidak akan diam. Mafia tanah di Sugihmanik harus dihabisi sampai ke akar-akarnya!" seru Hendrik.
Mereka juga meminta pemerintah daerah, khususnya BPN dan Kejari Grobogan, untuk bersikap adil. "BPN dan Kejari yang mengakui hak PT ALIB melukai hati masyarakat Grobogan. Bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa tanah itu adalah milik negara, bukan PT ALIB," kata Susilo.
Langkah Tegas atau Pembiaran?
Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menegakkan keadilan agraria. Jika tidak segera ditangani, Sugihmanik hanya akan menjadi salah satu dari banyak cerita tentang mafia tanah yang merampas hak rakyat.
"Tanah ini harus dikembalikan kepada negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikuasai oleh segelintir orang dengan dalih hukum yang rapuh," tutup Hendrik.
(Yanda)