Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Empat Kota, Nol Perda, Nol Lahan Bersih, Tapi Dijanjikan Investasi Jumbo Danantara: Skema Siapa Ini Sebenarnya?

Sabtu, November 22, 2025 | November 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-22T12:22:37Z


Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


Analisis berbasis Perpres 109/2020, LHP BPK, UU Keuangan Negara, dan prinsip tata kelola yang baik


*Kunci masalah: janji investasi di atas reruntuhan hukum*


Pemberitaan soal empat kota pilihan Danantara untuk proyek Waste-to-Energy (WtE) tahap pertama bukan sekadar kabar gembira. Itu adalah lampu merah bagi tata kelola dan kesehatan fiskal.


Pertanyaannya sederhana, tapi jawabannya menentukan gagal atau tidaknya proyek senilai triliunan rupiah:


1. Sudahkah keempat kota itu memiliki Perda Retribusi Sampah yang berlaku dan efektif? Jika tidak, maka seluruh wacana investasi WtE itu cacat hukum sejak awal. Ini melanggar Pasal 2 huruf (c) Perpres 109/2020, menginjak-injak prinsip Polluters Pay, berpotensi melanggar UU Keuangan Negara, dan berisiko masuk ranah penyalahgunaan kewenangan.

2. Sudahkah keempat kota itu memiliki lahan TPA berstatus ‘clean and clear’? Jika belum, proyek tidak boleh berjalan satu langkah pun. Ini syarat mutlak pasal 10 Perpres 109/2020. Tanpa ini, tender, MoU, atau kontrak apa pun ibarat membangun rumah di atas pasir hisap. Siap-siap saja menanggung sengketa hukum dan potensi kerugian keuangan daerah yang luar biasa.


Fakta teranyar, diduga, 99% pemerintah daerah di Indonesia masih bergelut dengan masalah kepastian hukum lahan TPAnya. Sangat sulit percaya bahwa keempat kota pilihan Danantara ini adalah segelintir oasis yang sudah bersih dari masalah klasik tersebut.


*Temuan kritis: narasi investasi vs. Kepatuhan hukum*


Danantara terburu-buru mengumumkan “investasi jumbo” sebelum syarat hukum paling minimal dipenuhi. Padahal, dalam catatan kita sebelumnya, begitu banyak tanda tanya yang belum terjawab, siapa investornya, bagaimana laporan keuangannya, di mana mitigasi risikonya?


Kini, mereka melompat lebih jauh yakni mengumumkan kota-kota penerima sebelum dua pilar hukum ini kokoh. Ini bukan kelalaian. Ini pola!


Pola yang menunjukkan red flag kelembagaan, red flag tata kelola, dan red flag risiko fiskal. Dalam bahasa IAW disebut, “Ketika syarat hukum diabai demi narasi investasi, itu bukan lagi bisnis, itu adalah desain untuk gagal bayar, yang ujung-ujungnya ditanggung negara.”


*Bedah regulasiI: Perpres 109 jelas, syarat harus dipenuhi dulu*


1. Pasal 2 huruf (c): terkait olluters pay, itu artinya Perda Retribusi lebih dulu. Makna pasal ini sangat gamblang:

- Retribusi adalah penerimaan daerah yang harus ditetapkan dengan Perda.

- Retribusi adalah nyawa model bisnis WtE.

· Retribusi memastikan yang membayar adalah penghasil sampah, bukan APBD.


Tanpa Perda, skema bisnisnya pincang. WtE tidak punya sumber pendapatan dasar. Risiko operasional akan dijungkirbalikkan ke pemda. Defisit pasti terjadi. Dan pada akhirnya, APBD, PLN, atau APBN-lah yang akan menanggung selisihnya.


Kesimpulan logis, jika empat kota itu belum punya Perda, maka pengumuman Danantara adalah tindakan prematur dan menyesatkan.


2. Pasal 10: lahan wajib ‘clean and clear’, ini bukan sekadar urusan administratif. Ini soal kepastian dan keberlanjutan proyek. Maka:

· Tidak boleh ada sengketa, tumpang tindih, atau potensi gugatan.

· Status hukum harus bersih, tidak boleh pinjam pakai atau tumpang tindih sertifikat.


Nyatanya, sebagian besar TPA di Indonesia tidak bersertifikat, menumpang di tanah negara atau kawasan hutan, dan sarat konflik dengan masyarakat.


Lalu, bagaimana mungkin empat kota ini tiba-tiba ‘steril’ dari masalah tersebut? Hanya ada dua kemungkinan, yakni due diligence Danantara sangat hebat, atau mereka mengabaikan pasal kunci Perpres ini.


*Analisis fiskal:  “investasi hantu” yang berujung beban APBN*


Bayangkan skenario terburuk, ini yang sangat mungkin terjadi: WtE sudah dibangun, tapi tidak ada Perda Retribusi. Apa konsekuensinya?

· Tidak ada aliran pendapatan yang sah.

· Tidak ada mekanisme ‘polluters pay’.

· Tidak ada dasar hukum untuk tipping fee.

· Tidak ada kontrak bisnis yang sehat.


Lalu, siapa yang menutup lubang kekurangan pendapatan operasional?

1. APBD? Itu akan melanggar UU Keuangan Daerah.

2. PLN? Tentu tidak akan mau membeli listrik dengan harga mahal.

3. Danantara? Kemampuannya terbatas dan transparansinya dipertanyakan!

4. APBN? Inilah jawabannya. Inilah risiko bailout terselubung yang kita khawatirkan. *Pemerintahan Presiden Prabowo akan semakin terbebani.*


Proyek “hijau” yang digadang-gadang justru berbalik menjadi beban fiskal baru yang memberatkan negara. Ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden Prabowo untuk proyek-proyek yang menguntungkan, bukan membebani keuangan negara.


*Posisi dan komitmen IAW: hukum akan kami dorong untuk dijalankan sampai kapanpun*


Jika proses tender WtE di empat kota ini dipaksakan tanpa dua syarat wajib itu terpenuhi, IAW tidak akan tinggal diam. Langkah hukum yang bisa kami tempuh:

1. Somasi kepada keempat pemerintah daerah terkait.

2. Somasi secara resmi kepada Danantara.

3. Melaporkan pelanggaran ini langsung kepada Presiden Prabowo.

4. Mendesak BPK untuk melakukan audit kinerja prospektif terhadap kesiapan Danantara dan skema WtE ini.

5. Melaporkan ke Kejagung dan KPK jika ditemukan indikasi penyalahgunaan kewenangan.


Dasarnya kuat, yaitu pengumuman investasi tanpa pemenuhan syarat hukum adalah bentuk maladministrasi dan membuka ruang bagi praktik yang tidak sehat.


*Rekomendasi untuk Presiden Prabowo*


Presiden perlu bertindak cepat, sebelum proyek ini menjadi bumerang di masa depan. Idealnya:

1. Diperintahkan transparansi total, dimana Danantara harus membuka data ke publik, yakni mana Perda dan sertifikat lahan keempat kota itu? Siapa investor sesungguhnya? Apakah ada konflik kepentingan dengan grup usaha tertentu?

2. Bekukan sementara proyek, hentikan semua proses hingga kedua syarat hukum itu dipenuhi. Ini untuk menyelamatkan negara dari potensi skandal fiskal dan politik di tahun 2025-2029.

3. Dimintakan audit prospektif oleh BPK terkait model Danantara mengelola uang negara. Mereka wajib diaudit secara ketat. Audit harus menyeluruh yakni tata kelola, kelayakan WtE, konflik kepentingan, dan kesiapan menghadapi risiko fiskal jangka panjang.


*Penutup: empat pertanyaan, satu tanggung jawab*


Untuk Danantara dan pemangku kebijakan, jawablah dengan jujur dan terbuka:


1. Perda retribusi, ada atau tidak?

2. Lahan ‘clean and clear’, ada atau tidak?

3. Investor yang siap dananya, ada atau tidak?

4. Perhitungan risiko fiskal yang transparan, ada atau tidak?


Jika jawabannya “tidak”, maka “investasi jumbo” itu hanyalah ilusi jumbo. WtE ini bukan lagi kebijakan, tapi jadi sekadar narasi politik. Danantara sedang memproduksi risiko berwarna merah dengan bungkus hijau.


Dan ingat pesan akhir dari IAW:


*“WtE yang benar bukan dimulai dari ekskavator, tapi dari ruang rapat DPRD yang melahirkan Perda. Bukan dimulai dari klaim investasi, tapi dari sertifikat lahan yang bersih. Bukan dimulai dari konferensi pers, tapi dari kepatuhan pada setiap titik koma aturan hukum.”*


Kami akan mengawal potensi buruk ini sampai Danantara kembali ke jalur yang benar!

×
Berita Terbaru Update