![]() |
Foto : ketika juru Sita pengadilan negri Bali meng eksekusi lahan namun salah obyek yang dipaksakan tetap di eksekusi |
BALI|KompasX.com – Lembaga peradilan kembali jadi sorotan tajam. Di Banjar Dinas Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Karangasem, proses eksekusi lahan yang seharusnya dijalankan dengan cermat dan objektif justru menyisakan luka mendalam bagi keluarga besar almarhum I Ketut Rundung. Eksekusi dilakukan atas dasar peta blok yang diduga keliru—dan ironisnya, didukung penuh oleh pengadilan tanpa verifikasi nyata di lapangan.
Warga yang selama ini menaruh harapan pada keadilan hukum kini justru merasa ditikam dari belakang oleh lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. SPPT sah atas nama almarhum I Ketut Rundung dengan NOP: 51.07.051.012.014.0114.0 dan luas 7.992 meter persegi, malah dibatalkan sepihak oleh BPKAD Karangasem. Padahal, keterangan kepala dusun, kepala desa, hingga camat sudah secara eksplisit menyatakan tanah itu tidak sama dengan milik pihak penggugat.
“Peta blok yang jadi dasar eksekusi itu menyesatkan! Tanah kami bentuknya memanjang, bukan berbentuk kapak seperti milik I Ramia. Tapi mengapa pengadilan tetap menutup mata?” tegas I Nengah Suwenten, anak almarhum.
![]() |
Foto : sepanduk permohonan kepada aparat |
Keluarga I Ketut Rundung bahkan menyebut proses hukum yang mereka hadapi penuh tekanan dan intimidasi. Permohonan pengukuran ulang dari BPN justru diblokir oleh pihak lawan yang datang dengan kawalan aparat bersenjata. Bukannya melindungi hak rakyat, aparat justru terkesan berpihak.
Pengadilan Negeri Amlapura pun kini dianggap gagal menjaga marwah keadilan. Alih-alih mengedepankan prinsip objektivitas dan empati terhadap rakyat kecil, pengadilan seolah hanya menjadi mesin stempel eksekusi, tanpa peduli pada kebenaran substansial.
“Kami tidak diberi kesempatan membela diri secara adil. Bukti sejarah, kesaksian perangkat desa, semuanya diabaikan. Hukum hanya bicara dokumen yang bahkan patut diduga cacat,” lanjut Suwenten.
I Nyoman Kantun Suyasa, SH., kuasa hukum dari kantor hukum D’Mantara & Partners, dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Amlapura telah gegabah. “Putusan hukum bukan sekadar formalitas! Hukum harus melihat keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Jika bentuk fisik tanah saja berbeda, mengapa tetap dipaksakan dieksekusi?”
Ia meminta agar pengadilan lebih terbuka kepada publik. “Rasa keadilan masyarakat telah diinjak-injak. Bila pengadilan tidak mampu menjaga netralitas dan integritas, maka lembaga ini justru berubah menjadi alat penindas atas nama hukum,” tambahnya.
Surat kuasa bantahan eksekusi kini telah resmi dilayangkan, dengan harapan dapat membuka kembali ruang keadilan yang tertutup rapat. Para termohon eksekusi menyerahkan mandat penuh kepada tim kuasa hukum mereka untuk melawan penetapan Ketua PN Amlapura No. 7/Pdt.Eks/2024/PN.Amp jo. Putusan No. 66/Pdt.G/2020/PN.Amp yang mereka nilai sarat ketidakberesan.
Masyarakat Bali pun angkat suara. Mereka mendesak Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan DPD RI untuk menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan kewenangan dalam kasus ini.
“Ini bukan sekadar tanah. Ini soal warisan leluhur, soal martabat, dan tentang bagaimana hukum dipermainkan demi kepentingan kelompok tertentu,” ucap seorang tokoh adat yang ikut mendampingi keluarga korban.
Jika pengadilan terus memalingkan wajah dari keadilan yang sesungguhnya, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan mereka runtuh total.
Red/JH