![]() |
Foto istimewa |
Anak malang itu mulai menunjukkan gejala sejak usia enam bulan, ketika muncul benjolan di lengan usai terkena cacar dan campak. “Awalnya saya pikir cuma benjolan biasa. Tapi makin lama makin besar. Sekarang dokter menyarankan CT Scan dan tindakan operasi,” ujar Anggreini, menahan tangis.
Tak hanya itu, sang anak juga mengalami infeksi kulit kronis di bagian kepala, yang membuatnya sering menangis kesakitan. Baru-baru ini, anak tersebut dilarikan ke UGD karena demam tinggi hingga 38,9°C.
Ayah Biologis Diduga Lepas Tangan Sejak Kehamilan
Lebih mengejutkan lagi, di tengah perjuangan Anggreini merawat anaknya yang sakit keras, ayah biologis sang anak justru tidak pernah hadir. Bahkan sejak kehamilan, Anggreini mengaku menjadi satu-satunya yang menafkahi kebutuhan mereka.
“Saya yang kerja dan nafkahi saat kami masih bersama. Sekarang dia benar-benar hilang, tak peduli anaknya sakit parah,” ungkap Anggreini dengan suara gemetar.
Dapat Intimidasi dari Oknum Aparat?
Kisah ini menjadi lebih mencengangkan ketika Anggreini menyebut dirinya diintimidasi oleh seorang oknum aparat berinisial Brigadir Devi. Ia mengaku mendapat tekanan secara verbal melalui pesan WhatsApp, yang kini sudah ia laporkan ke Mabes Polri.
“Saya punya bukti semua chat-nya. Kalau aparat penegak hukum butuh, saya siap buka semua. Saya tidak main-main. Ini soal anak saya, soal keadilan,” tegasnya lantang.
Mediasi Gagal, Ayah Minta Online karena Takut Bertemu Anak Sendiri
Anggreini sudah mencoba menyelesaikan konflik ini secara kekeluargaan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA). Namun, mediasi gagal total karena pihak ayah menolak hadir langsung dengan alasan "keamanan", dan hanya bersedia melalui mediasi daring.
“Dia bahkan takut lihat anaknya sendiri. Saya minta offline supaya dia lihat langsung kondisi anaknya, tapi dia tidak mau,” keluh Anggreini.
Butuh Rp150 Juta, Ibu Ini Hanya Andalkan Kerja Lepas
Biaya pengobatan dan operasi diperkirakan mencapai Rp100 juta hingga Rp150 juta. Namun Anggreini yang hanya bekerja lepas tanpa penghasilan tetap, jelas kewalahan menanggungnya sendiri. Selama ini, ia hanya mengandalkan bantuan teman dekat.
“Saya tidak minta dikasihani. Saya cuma ingin dia bertanggung jawab sebagai ayah. Ini demi nyawa anak kami. Bukan demi saya,” ucap Anggreini dengan mata sembab.
Kisah tragis ini menjadi cermin nyata bahwa masih banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban pengabaian, ketidakadilan, bahkan tekanan dari oknum aparat. Anggreini berharap publik dan negara tidak tinggal diam.
“Saya tahu banyak ibu lain juga alami hal seperti saya. Jangan diam. Negara harus turun tangan. Anak-anak kami butuh perlindungan, bukan ditelantarkan,” tutupnya penuh harap.