![]() |
Foto istimewa |
Kasus bermula dari kredit Koiman pada 2023 sebesar Rp50 juta dengan tenor 3 tahun, yang kemudian dinaikkan menjadi Rp100 juta. Setelah 13 bulan cicilan berjalan, Koiman mengalami kesulitan keuangan dan tertunda membayar selama 3 bulan. Alih-alih diberi ruang negosiasi, ia justru dihantui tekanan mental dari debt collector.
"Karena ingin menyelesaikan baik-baik, saya sepakat menitipkan mobil ke Polsek Watukumpul. Disepakati saya diberi waktu dua hingga tiga hari untuk melunasi tunggakan," kata Koiman. Kesepakatan itu pun disaksikan oleh anggota piket Polsek.
Namun, belum genap satu hari berlalu, mobil sudah raib. Melalui video call, debt collector bernama Penji menunjukkan bahwa unit telah dipindahkan ke kantor pusat MUF. Lebih parah, dalam voice note yang dikirim Penji, disebutkan jelas: "Saya sudah kasih uang Rp2 juta ke Polsek."
Polsek Bungkam, Debt Collector Ngaku Dekat dengan Kanit
Saat dikonfirmasi, Kapolsek Watukumpul justru melempar tanggung jawab ke Kanit dan anggota piket. Lucunya, anggota piket juga ikut-ikutan "lupa ingatan" dan minta wartawan menghubungi Kanit. Namun Kanit pun menepis semua tuduhan dan berjanji akan mediasi, yang nyatanya tak menghasilkan apapun.
Ironisnya, Penji sendiri tidak menampik mengenal Kanit, dan mengaku soal “uang Rp2 juta” itu hanya bentuk “rencana ucapan terima kasih”. Tapi publik tahu: di balik kata-kata manis itu bisa saja tersembunyi praktik kotor.
Kuasa Hukum Koiman: Ini Pelanggaran Hukum dan Dugaan Gratifikasi!
Rasmono SH, pengacara Koiman, menilai kasus ini bukan sekadar penarikan unit. “Ini jelas bentuk pelanggaran hukum. Penarikan kendaraan di lingkungan kantor polisi tanpa kehadiran kedua belah pihak itu menyalahi aturan. Jika benar ada uang mengalir, maka indikasi gratifikasi sudah sangat kuat,” tegas Rasmono.
Ia menambahkan, kliennya sudah tiga kali datang ke Polsek untuk mencari penyelesaian, namun semuanya menemui jalan buntu. “Kalau begini terus, kami akan bawa masalah ini ke Mabes Polri. Tak boleh ada institusi penegak hukum yang justru melindungi praktik kejahatan berkedok legalitas.”
Skandal Watukumpul: Cermin Buram Wajah Kepolisian?
Kasus ini membuka kembali luka lama soal relasi gelap antara debt collector dan oknum aparat. Polsek yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, justru diduga jadi tempat kongkalikong. Jika institusi tidak segera bersih-bersih, maka kepercayaan publik akan terus terkikis.
Pertanyaannya: apakah Kapolres Pemalang dan jajaran di atasnya berani bertindak tegas? Atau, kasus ini akan kembali jadi kisah basi: tertutup rapi, pelaku tak tersentuh, dan rakyat kembali jadi korban?
Laporan: isk